Jumat, 09 November 2012

Cerita Mahabarata


Cerita Mahabarata


Ketika epos Mahabarata menceritakan tentang kisah percintaan Kresna dan Radha, maka muncul filsafat, “Tak ada perbedaan dalam cinta suci”.
Ketika Kresna menikah dan ikut mertua, maka sang ibu, Yasoda, merasa tidak rela, “Keberatan seorang ibu bukanlah suatu kebencian. Justru ia mengandung nilai kasih sayang”.
Ketika melihat fragmen begitu sayangnya Yasoda pada Kresna, “Kasih ibu pada anaknya”. “Keberhasilan/kesuksesan seseorang adalah berkat tirakat orang tuanya”.
Ketika Kresna kecil begitu nakal dengan memimpin teman temannya untuk mencuri mentega di setiap rumah penduduk, biar penduduk tidak memproduksi mentega, dengan maksud ke depan untuk menghambat persembahan mentega itu pada Kansa, raja Matura yang bengis, maka muncul filsafat “Orang besar adalah ketika kecil sudah menjadi pusat perhatian orang”. “Orang besar adalah ketika ia bisa menjengkelkan, sekaligus dirindukan”. “Orang besar adalah ketika ia dekat dengan urat nadi ibunya, sehingga ia mendapatkan perkenan dan restunya”. “Orang besar adalah ketika mempersembahkan segenap hidupnya untuk orang lain”.
Ketika di tengah Padang Kurusetra Kresna menceritakan jalan perang pada Arjuna yang mulai bimbang, muncullah filsafat, “Tidak ada jalan agung bagi kelaliman, kecuali kematian”. Kresna kembali meyakinkan penengah Pandawa itu, “Kebenaran kan mengalahkan kejahatan”. “Manusia harus bersatu dengan kebenaran”.
Ketika Kresna membunuh Sisupala karena menerima penghinaan hingga 100x, sebait filsafat “Takdir tak dapat dihindari” pun muncul. Maka dibunuhlah Sisupala.
Ketika Kresna menjenguk Bisma di akhir kematiannya, “Setiap orang menempati kedudukannya sendiri”.

Ketika Pandawa terdesak, Kresna meyakinkan mereka, “Kekalahan adalah awal menuju kemenangan”. Sambil menambahkan, “Tidak ada senjata yang ampuh, kecuali akal budi”.
Ketika Bisma muda bersumpah tidak akan menikah dan tidak ingin menjadi Putra Mahkota demi ayahnya, Raja Sentanu agar bisa menikah lagi, maka berfilsafat:
“Seorang anak harus memiliki kepatuhan dan loyalitas yang luar biasa terhadap orang tua”, “Setiap orang harus memiliki komitmen yang tinggi terhadap janji”, dan “Manusia terikat dengan garis nasibnya”.

Ketika Raja Sentanu menikahi Dewi Setyowati, seorang putri nelayan, “Perkawinan tak mengenal kasta”.
Ketika Raja Sentanu menyesali apa yang ia perbuat dengan telah mengorbankan nasib anaknya, “Keadilan lebih berharga dari cinta”. Tak lama kemudian ia meninggal, “Rasa bersalah mempercepat datangnya kematian”. Dan, Sentanu harus berpikir bahwa, “Batas wilayah privat dan publik haruslah jelas”.
Ketika Prabu Drupada akan membalas dendam ke Pendeta Durna, “Balas dendam hanya akan menghancurkan sifat kebijaksanaan”.
Ketika Raja Duryudana tidak begitu mempedulikan nasehat para resi, maka muncul filsafat, “Seyogyanya, ulama dihormati umara”. “Kembali pada kebenaran adalah pilihan kehidupan”.

Ketika Duryudana dengan segala kesombongannya ternyata gagal mengangkat busur panah dalam sayembara memperebutkan Dewi Drupadi, “Keangkuhan bukanlah sifat seorang pemberani”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar