Cerita Mahabarata
Ketika epos Mahabarata menceritakan tentang kisah percintaan
Kresna dan Radha, maka muncul filsafat, “Tak ada perbedaan dalam cinta suci”.
Ketika Kresna menikah dan ikut mertua, maka sang ibu, Yasoda, merasa tidak
rela, “Keberatan seorang ibu bukanlah suatu kebencian. Justru ia mengandung
nilai kasih sayang”.
Ketika melihat fragmen
begitu sayangnya Yasoda pada Kresna, “Kasih ibu pada anaknya”.
“Keberhasilan/kesuksesan seseorang adalah berkat tirakat orang tuanya”.
Ketika Kresna kecil begitu nakal dengan memimpin teman
temannya untuk mencuri mentega di setiap rumah penduduk, biar penduduk tidak
memproduksi mentega, dengan maksud ke depan untuk menghambat persembahan
mentega itu pada Kansa, raja Matura yang bengis, maka muncul filsafat “Orang
besar adalah ketika kecil sudah menjadi pusat perhatian orang”. “Orang besar
adalah ketika ia bisa menjengkelkan, sekaligus dirindukan”. “Orang besar adalah
ketika ia dekat dengan urat nadi ibunya, sehingga ia mendapatkan perkenan dan
restunya”. “Orang besar adalah ketika mempersembahkan segenap hidupnya untuk
orang lain”.
Ketika di tengah Padang Kurusetra Kresna menceritakan jalan
perang pada Arjuna yang mulai bimbang, muncullah filsafat, “Tidak ada jalan
agung bagi kelaliman, kecuali kematian”. Kresna kembali meyakinkan penengah
Pandawa itu, “Kebenaran kan mengalahkan kejahatan”. “Manusia harus bersatu
dengan kebenaran”.
Ketika Kresna membunuh
Sisupala karena menerima penghinaan hingga 100x, sebait filsafat “Takdir tak
dapat dihindari” pun muncul. Maka dibunuhlah Sisupala.
Ketika Kresna menjenguk Bisma di akhir kematiannya, “Setiap orang menempati
kedudukannya sendiri”.
Ketika Pandawa terdesak, Kresna meyakinkan mereka,
“Kekalahan adalah awal menuju kemenangan”. Sambil menambahkan, “Tidak ada
senjata yang ampuh, kecuali akal budi”.
Ketika Bisma muda
bersumpah tidak akan menikah dan tidak ingin menjadi Putra Mahkota demi
ayahnya, Raja Sentanu agar bisa menikah lagi, maka berfilsafat:
“Seorang anak harus memiliki kepatuhan dan loyalitas yang luar biasa terhadap
orang tua”, “Setiap orang harus memiliki komitmen yang tinggi terhadap janji”,
dan “Manusia terikat dengan garis nasibnya”.
Ketika Raja Sentanu menikahi Dewi Setyowati, seorang putri
nelayan, “Perkawinan tak mengenal kasta”.
Ketika Raja Sentanu menyesali apa yang ia perbuat dengan
telah mengorbankan nasib anaknya, “Keadilan lebih berharga dari cinta”. Tak
lama kemudian ia meninggal, “Rasa bersalah mempercepat datangnya kematian”.
Dan, Sentanu harus berpikir bahwa, “Batas wilayah privat dan publik haruslah
jelas”.
Ketika Prabu Drupada akan
membalas dendam ke Pendeta Durna, “Balas dendam hanya akan menghancurkan sifat
kebijaksanaan”.
Ketika Raja Duryudana tidak begitu mempedulikan nasehat para resi, maka muncul
filsafat, “Seyogyanya, ulama dihormati umara”. “Kembali pada kebenaran adalah
pilihan kehidupan”.
Ketika Duryudana dengan segala kesombongannya ternyata gagal
mengangkat busur panah dalam sayembara memperebutkan Dewi Drupadi, “Keangkuhan
bukanlah sifat seorang pemberani”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar